Persona Rana
3 min readSep 11, 2023

Di bawah siang dan malam yang saling bertukar takhta, ada jutaan kisah tak terjamah yang bernapas di atas tanah. Ada jutaan pula perasaan tak terungkap yang menguap di antara hembus angin diiringi getaran sembrono dari hati nan gelisah dan meletup-letup. Dari jutaan kisah yang ada meski ia tak tahu-menahu, Amanai Kanoka pernah menyesali kisahnya yang terselip di sana — menjadi bagian dari kisah yang lahir dan tuntasnya tak abadi kecuali dalam memorinya sendiri.

Di sela kepulan asap beraroma melati dari secangkir teh hangat yang menenangkan pagi hari liburnya, Kanoka meluncurkan tawanya yang terlantun renyah. Tangannya bergerak mengusap permukaan berdebu sebuah buku catatan bersampul kuno yang kertasnya menguning usang. Di lembar pertama, tulisan bertinta minyak warna biru membisikinya sebuah nama yang bagi Kanoka, sama usangnya dengan buku catatan dan bentuk jadul tulisan tinta biru ini.

Dari Ushijima Wakatoshi, untuk Amanai Kanoka.

Buku ini ia dapatkan sembilan tahun lalu dari teman sekelasnya yang gila olahraga bernama Ushijima Wakatoshi. Waktu ia menerima buku ini sebagai hadiah, hatinya kelojotan bukan main; gugup, heran, dan senang meletup-letup. Dan sejak saat itu, buku dari Wakatoshi ini yang sigap membendung seluruh emosi dan gagasan milik Kanoka yang sulit mengungkapkan sesuatu melalui lisan.

Waktu Kanoka menerima buku ini dari Wakatoshi, ia merasa bahwa Wakatoshi sangat memahami dirinya. Padahal mungkin, bagi Waka, ini hanya sebuah buku murah.

Kanoka tidak sanggup membuka dan membaca isi buku itu lagi. Terlalu alay, katanya. Isinya tidak jauh-jauh dari makian pada jam pelajaran yang tak usai-usai, keluhan soal klub basket putri yang tidak mendapat perhatian kepala sekolah, dan sanjungannya pada pujaan hati yang kaku tapi tetap saja beken.

Kanoka pikir-pikir, ia selalu menganggap dirinya dan Wakatoshi sangat cocok untuk bersama — terdengar menggelikan memang, namun, Kanoka tidak pernah menyuarakan gagasan ini pada siapa pun — jika ia lihat dari kesukaan dan sikap satu sama lain. Dari Wakatoshi yang kaku dan sedikit angkuh, Kanoka yang tak banyak omong namun hangat dan ramah, hingga kenyataan kalau mereka berdua sama-sama menggeluti bidang olahraga daripada akademik.

Kanoka pikir seperti itu, tapi realitas biasanya suka menyalahi anggapan dan harapan manusia.

Sembilan tahun lalu, Kanoka selalu berpikir bahwa perasaannya pada Wakatoshi itu nyata, dan kisah-kisah rekaannya tentang masa depan dan cinta akan segera terealisasi. Kanoka yang lugu belum paham, bahwa peranan dari cinta, kegagalan dan patah hati pertama adalah mentor bagi kehidupan yang terasa rumit namun paling sederhana.

Kanoka menutup buku itu dan menumpuknya di atas barang-barang yang masih ia simpan. Ia melanjutkan kembali acara bersih-bersihnya yang suka tertunda oleh nostalgia dadakan. Ia memilih untuk melayangkan pikirannya pada memori masa lalu seraya tetap bekerja merapikan apartemennya. Bagaimana kabar Wakatoshi kini? Ia pikir, sama baiknya dengan hatinya yang genap sembuh dari cinta pertamanya pada Wakatoshi.

Diiringi suara-suara maya dalam kepalanya, musik hangat dari daftar putar John Lennon favorit Kanoka menguar menemani keringat dan debu memenuhi ruang tamu apartemen Kanoka pagi itu.

Persona Rana

Tulisan kanak-kanak, ditulis oleh orang aneh yang bercita-cita menjelma pembatas buku. Silakan dikritisi. https://retrospring.net/@personarana