Persona Rana
5 min readSep 3, 2023

Ini pagi ke sekian aku terbangun dengan perasaan yang tidak selaras dengan matahari pagi. Saat mataku membuka selepas belaian terik pagi yang membombardir kamarku atas persetujuan kakak perempuanku—dia berteriak heboh, mengatakan aku akan terlambat kelas pagi yang sebenarnya masih akan dimulai dua jam lagi—aku bersumpah serapah sambil meraup napas seperti baru saja berlari maraton.

Malamku akhir-akhir ini selalu berkeringat dingin, dan saat terbangun, aku merasakan wajahku memucat. Jantungku berdetak sangat keras untuk ukuran orang yang baru saja terbangun dari tidur, perasaanku ngilu dan sedikit ngeri. Khusus pagi ini, aku menyertai itu semua dengan tangisan tiba-tiba.

Kakakku panik menanyakan tangisanku. Untungnya, aku masih kuat menggerutu dengan keadaan demikian. “Tidurku memburuk sepanjang bulan ini, aku sungguhan capek.”

“Mimpi apa lagi? Jadi kusen pintu puskesmas? Kamu capek badanmu ditekuk-tekuk sepanjang tidur?” Kakakku tidak bercanda. Memang terdengar meledek, tapi sebenarnya dia sungguhan khawatir.

Bisa dikatakan, aku bermimpi hampir tiap malam dan aku selalu ingat semua mimpi yang aku rasa selalu berbeda dari orang kebanyakan: sering kali aku bermimpi jadi benda mati. Terkadang menjadi seseorang yang kukenal maupun tidak. Sesekali menjadi angin atau air—mimpi menjadi elemen adalah mimpi terdamai yang pernah kualami. Dan baru dua kali dalam hidupku, aku tidur tanpa bermimpi.

O—sebenarnya, komponen mimpiku bisa saja dialami banyak orang. Tapi, mimpiku selalu terasa nyata sehingga aku bisa sangat lelah ketika bangun tidur. Seperti saat aku bermimpi menjadi kusen pintu puskesmas di jam kerja yang beberapa menit sekali dibuka-tutup, badanku betulan pegal-pegal di pagi harinya. Pernah juga bermimpi menjadi baling-baling kipas angin yang membuatku merasa berdebu dan sakit kepala bukan main. Keesokan paginya, aku masuk sekolah dengan keadaan flu dan migrain.

Jika itu terdengar lucu, maka aku tersinggung atas penderitaanku saat benar-benar butuh istirahat, namun, dalam tidurku, aku malah merasakan badanku diayun-ayun dan dihantam suatu benda secara berkala karena aku mimpi jadi raket bulu tangkis.

Kakakku adalah satu-satunya yang pengertian terhadapku soal ini. Namun, tetap saja dia tidak bisa melakukan apa pun. Jadi, aku tidak bisa mengandalkan dia meskipun keadaan terkadang menjadi sedikit menyeramkan.

Seperti malam-malam dalam tiga pekan ini, aku bermimpi berada dalam kamarku, melihat tubuhku tertidur dengan pose terjelek dari seberang ranjang tidur. Awalnya, kupikir aku bermimpi jadi dinding kamar, jadi aku hanya berdiam diri sampai aku sadar bahwa aku mengeluarkan suara napas. Lalu, aku menggerakkan badanku untuk memastikan peranku dalam mimpi kali itu sembari menduga hal buruk, yang dengan seribu sayang, benar-benar terjadi:

Aku bermimpi jadi orang lain di dalam kamarku.

Tidak ada yang kupikirkan selain membawa lari tubuh entah-milik-siapa itu keluar dari rumahku, ke mana pun. Kalau bisa, kubuat tubuh itu tersesat karena aku sangat takut. Dan bagaimana pun tubuh ini tersesat, di detik itu tetap saja aku ada di dalam tubuh si brengsek itu! Itu benar-benar menakutkan, tapi tidak lebih menakutkan dari malam besoknya di mana mimpi yang sama terulang hingga malam-malam seterusnya. Tidak selalu sama persis, beberapa kali aku mulai bermimpi dengan berdiri di depan pintu, atau pernah pula sangat dekat dengan ranjang. Bagaimana pun posisiku saat mimpi di mulai, aku selalu mengakhirinya dengan berlari ke luar rumah, berusaha melenyapkan tubuh itu dari rumahku di dalam mimpi.

Beberapa malam lalu, aku mengadakan uji coba dalam mimpi. Aku, di dalam tubuh tak diketahui itu—saat itu aku terlalu takut bercermin untuk mencari tahu—pergi mengendarai mobil kakakku. Di dalam mobil itu aku tanpa sengaja berhadapan dengan pantulan kaca. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah dari tubuh yang aku huni selama tidur akhir-akhir ini.

Aku melihat wajah Kusuma.

Rasa takutku sedikit melonggar. Setidaknya, aku tidak menghuni pemilik wajah seram, siluman, atau seorang predator cabul. Tapi, aku tetap merasa gundah. Kenapa wajah Kusuma?

Aku melajukan mobil Kakak jauh ke pusat kota, di mana jika mimpi ini terjadi di dunia nyata, maka mobil kakak tidak seharusnya berada di bagasi pada pagi hari nanti.

Keesokan paginya, mobil Kakak ada di dalam bagasi dan aku bersorak dalam hati. Sedikit lega, karena Kusuma tidak sungguhan masuk ke dalam kamarku setiap malam. Untuk apa pula? Aku meringis menahan senyum.

Di kelas, aku jadi tidak bisa menatap mata Kusuma, tapi juga tidak bisa melepas pandangan dari eksistensinya. Wajahnya yang berantakan di pantulan kaca mobil menghantuiku sepanjang kelas berlangsung. Hari ini dia terlihat seperti biasa: rambut dicepol asal dan kendur, mata dengan sorot layu dan abu-abu, bibir yang lebih kering dari biasanya. Pakaiannya juga sama—selalu sama setiap hari: celana bahan hitam dan kemeja putih usang. Seperti biasa pula, dia menjadi perempuan tercantik di kelas ini.

“Kenapa?” tanyanya, mungkin dia sudah lama sadar dan muak terus-terusan ditatap olehku, namun ia tetap tersenyum basa-basi.

“Enggak apa-apa, Sum.” Aku menjawab gugup. “Kayaknya… kamu kelihatan lebih lelah hari ini.”

Kusuma menatapku dengan matanya yang masih abu-abu. Senyumnya hilang. “Begitu ya?” Suaranya menggantung. Tiba-tiba, rasanya aku mau muntah.

Malamnya aku kembali bermimpi jadi Kusuma di dalam kamarku. Sejak itu aku hanya diam. Tidak peduli pada tubuh Kusuma yang berada di dalam kamarku karena ternyata, ini semua hanya mimpi. Aku tidak perlu membuang tenaga banyak saat tidur karena aku ingin mengembalikan hari-hariku yang berkualitas sebelum datangnya ‘mimpi Kusuma’. Biasanya aku pergi ke luar kamar—di dalam mimpi—entah ke kamar mandi, atau ruang tamu karena memandang diriku dengan mata orang lain benar-benar sangat tidak nyaman.

Kusuma masih di kamarku hingga semalam. Mungkin sudah sebulan genap dia mampir jadi bunga tidur.

“Aku mimpi jadi stalker dengan wajah teman sekelas. Gila, gimana perasaanmu kalau teman sekelasmu memimpikanmu jadi wanita penguntit?”

Kakakku mengernyit heran. “Ya, itu cuma mimpi. Jadi akan kuanggap itu lelucon.” Dia memotong pinggiran roti untukku. Bukan karena sayang, tapi dia tahu aku benci dimanja.

“Tapi kalau itu mimpimu, aku akan tersinggung. Beberapa kali, mimpimu itu terkonfirmasi nyata.”

“Enggak! Yang ini sudah kujamin hanya mimpi.” Aku berujar sedikit bersemangat, karena sedikit merasa takut.

“Meski begitu, kuharap kamu tetap hati-hati sama temanmu itu.”

Kusuma hari ini tidak hadir dalam kelas. Tidak ada yang mendapat kabar, pun yang peduli. Selama sepekan kemudian, Kusuma tidak hadir di dalam kelas juga di dalam mimpiku. Entah aku harus merasa senang atau khawatir.

Malam kemarin adalah malam terakhir aku mimpi menjadi Kusuma. Saat itu aku tidak berdiam dengan tubuhnya, tapi melakukan uji coba kedua tanpa memperhitungkan risiko. Segera setelah memasuki mimpi, aku beranjak dari kamarku menuju ke dapur. Meminjam segala unsur badan Kusuma, aku bergetar takut dan ragu.

Aku mengambil pisau daging lalu menikam diriku sendiri—menikam tubuh Kusuma di dalam mimpi.

Rasa kematian sungguh mengerikan. Aku terbangun dengan tangisan tiba-tiba.

Aku buru-buru pulang setamatnya kelas. Membatalkan semua janji, mengabaikan semua ajakan teman untuk membuat janji. Aku berusaha menekan degup jantungku dengan harapan semua akan baik-baik saja. Kusuma dan aku akan baik-baik saja.

Pisau daging itu pasti masih ada di dapur. Sejak kemarin pun, dapur kelihatan bersih.

“Kakak! Aku butuh pisau daging sekarang!” Aku mendobrak pintu, kemudian berseru. Kakakku, dari dalam ruang kerjanya, menghampiriku yang berlari ke arah dapur dengan wajah marah yang ditahan oleh rasa heran.

Pisau itu raib.

“Pisau daging? Ini?” Kakak menyerahkan pisau daging bergagang merah. Bukan yang itu, aku memberi isyarat. “Oh, yang merek Y itu hilang, nggak tahu ke mana, deh.”

Pisau itu raib. Kesadaranku raib.

Beberapa hari setelahnya, jasad Kusuma ditemukan di belakang rumahku berkat aroma busuk yang disadari kakakku. Aku kembali pingsan, tapi aku dan Kakak tidak pernah terlibat lebih jauh dengan kasus ‘bunuh diri’ itu.

Persona Rana

Tulisan kanak-kanak, ditulis oleh orang aneh yang bercita-cita menjelma pembatas buku. Silakan dikritisi. https://retrospring.net/@personarana